Tuesday, August 29, 2006

nothing new

lying here in my bed

the clock ticks

and i think of you

confusion is nothing new

Thursday, August 24, 2006

Lord's Prayer

When i'm down and weary.....
and there's no energy left to say my prayers...
This is my only source of strength to get through the day.....


*********************************
Lord's Prayer

Our Father, who art in heaven,
Hallowed be thy Name.
Thy kingdom come.
Thy will be done, On earth as it is in heaven.
Give us this day our daily bread.
And forgive us our trespasses, As we forgive those who trespass against us.
And lead us not into temptation,
But deliver us from evil.
For thine is the kingdom, and the power, and the glory, for ever and ever.
Amen.

Surat yang tak pernah sampai

One of talented Indonesian writer, Dee just published compilation of her short stories written in the last decade. Titled "Filosofi Kopi", of course attract my attention instantly (you'll know more about my passion for coffee).

I share this one story from the book. I'd say this is the most intense story, i was so carried away by the emotions and nuances.

Anyway...........hope you all will enjoy this.......

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Surat yang tak pernah sampai (2001)

Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenernya kamu hanya ingin
berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam….tentang dia.

Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.

Sebelah darimu mengingikan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya, untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya – dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan – bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila – berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.

Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalama kesadaran murni akan Cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah lam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala…dan itulah tujuan kalian.

Kalau saja hidup tidak ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganngu, kalu saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka…tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.

Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membatu untuk itu.

Tapi, hidup ini cari. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. HIdup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa ktia untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.

Kamu takut.

Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.

Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata ‘sejarah’ mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.

Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuk menjadi embun yang rapuh.

Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang Tidak Boleh Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebeneran tertinggimu.

Lama baru kamu menyadari bahwa Pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghidutng, berapa banyakkan pengalaman nyhata yang kalian alami bersama?

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumu, dan alas an cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.

Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.

Cintajangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkan-mu – entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan…karena cinta adalah mengalami.

Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan Cuma maskot untuk disembah sujud.

Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.

Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini,

Hingga akhirnya….

Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua, Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?).

Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.

Dia yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.

Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.

Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.

Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu, menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati yang sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.

Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusar, kompas, Bintang Selatan….yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.

Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.